Jumat, 23 Oktober 2015
Sabtu, 26 September 2015
IBU-IBU DHARMA WANITA PERSATUAN (DWP)
KABUPATEN PIDIE JAYA BERBAGI DAGING QURBAN KEPADA SLB PIDIE JAYA
Dengan
semangat dan menperingati Hari Raya Idul Adhar 1436 H (hari raya Qurban) Ketua Dharma
Wanita Persatuan (DWP) Pidie Jaya Ibu Hj. Yulinar Iskandar beserta rombongan,
melakukan satu kegiatan berbagi daging Qurbar kepada seluruh siswa fakir atau
miskin dan dewan Guru SLB Pidie Jaya pada tanggal 12 Dzulhijjah 1436 H bertepatan
pada tanggal Sabtu 26 September 2015 M, yang dimulai pukul 08.00 wib, berlokasi
di Desa Pohroh Kec. Meureudu. Penyaluran daging qurban ini diserahkan kepada
kepala sekolah Zubir, S.Pd secara simbolis dan kemudian diteruskan kepada semua
penerima. Dalam kunjunggannya, Ibu-ibu DWP Kab. Pidie Jaya ikut menyaksikan
proses penyembelihan hewan qurban yang dilakukan di komplek sekolah.
Hj.
Yulinar Iskandar menyampaikan, Semoga daging qurban yang dibagikan bermanfaat
bagi para penerima dan kebersamaan serta silaturahmi Idul Qurban ini tetap
terjalin dengan baik.
Zubir
mengatakan bahwa pihak sangat berterima kasih pada DWP Kab. Pidie Jaya beserta
rombongan atas hewan qurban ini, menurut data siswa sekolah akan menyiapkan 95
kupon untuk dibagikan. Pelaksanaan pemotongan hewan qurban dilaksanakan dengan
tertib. Hewan qurban yang telah disembelih tersebut kemudian dibagikan kepada siswa
dan dewan guru, Sebagian wali siswa mengantarkan anaknya langsung ke sekolah
untuk melihat proses penyembelihan dan pembagian daging qurban. Proses
pembagian qurban dilaksanakan dalam 2 cara, pertama wali murid mengambil
langsung ke sekolah dan kedua pihak sekolah mengantarkan langsung ke tempat
siswa tinggal.
Selasa, 08 September 2015
Karakteristik Anak Tuna Grahita
Secara umum karakteristik anak tunagrahita ditinjau dari segi akademik, sosial/emosional, fisik/kesehatan. Di samping perlu pula ditinjau berat dan ringannya ketunagrahitaan, sehingga perlu dibahas karakterirtik tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat dan sangat berat.
Pemahaman karakteristik sangat penting karena dapat menentukan layanan pendidikan bagi tiap jenis anak tunagrahita. Misalnya materi pelajaran bagi anak tunagrahita ringan lebih tinggi jika dibandingkan dengan materi pelajaran bagi anak tunagrahita sedang, berat, dan sangat berat.
Ciri-ciri /karakteristik yang dapat dijadikan patokan dalam mendeteksi ketunagrahitaan terutama pada masa sekolah penting dikenal oleh guru karena kebanyakan dari mereka langsung masuk ke sekolah biasa. Biasanya anak yang ke sekolah umum tergolong tunagrahita ringan karena tidak memperlihatkan ciri-ciri khusus dalam segi fisik. Ciri ketunagrahitaan barulah diketahui pada saat ia duduk di kelas IV SD karena di kelas sebelumnya ia dapat mengikuti pelajaran seperti anak normal dalam menyanyi, bermain dan kerja.
Diakses dari : http://www.enkadaycare.com/
Minggu, 06 September 2015
PERANAN ORANG TUA TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Di SLBN PIDIE JAYA
A. Latar Belakang
Sekolah
berkebutuhan khusus bagi anak cacat kini hadir di Pidie Jaya. Kendati masih minim baik fasilitas, tenaga pengajar serta beberapa sarana
utama yang diperlukan anak didik lainnya, namun pihak sekolah atau pengelola
tetap berupaya semaksimal mungkin untuk memajukan lembaga pendidikan
dimaksud.Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) yang berlokasi di Gampong Pohroh
Kecamatan Meureudu, aktif mulai September 2014 lalu.
SLBNPidie
Jaya merupakan salah satu sekolah yang mendidik semua jenis anak berkebutuhan khusus (ABK). Dalam hal
tersebut, semua sekolah yang menerapkan inklusi harus tunduk kepada SLBN Pidie
Jaya.
Tidak sedikit orang tua yang mendapati anaknya
berkebutuhan khusus lalu mereka malu untuk mengakuinya kepada orang lain.
Menurut saya, ini adalah dasar kesalahan para orang tua. Mengapa demikian?
Karena seharusnya anak berkebutuhan khusus itu harus mendapatkan dukungan penuh
dari orang yang paling dekat dengan mereka. Kalau orang tuannya saja malu untuk
mengakuinnya, lalu bagaimana bisa mereka bisa tumbuh kembang dan mendapatkan
pendidikan yang baik?. Sangat miris bila kita menjumpai permasalahan yang
demikian.
Ada pula orangtua yang menyekolahkan anaknya
memang ditempat yang benar, namun mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para
guru untuk mendidik anak mereka. Dengan alasan guru di sekolah tersebut telah
menguasai bidangnya. Benar demikian, hanya saja hakikatnya manusia adalah
makhluk sosial yang tidak terlepas dari bantuan orang lain atau tolong menolong
terhadapnya. Begitupun guru dengan orang tua murid.
Menurut saya untuk menghindari dari
permasalahan-permasalahan yang tidak diinginkan dan dampak yang tidak baik bagi
anak berkebutuhan khusus, maka perlunya kesadaran orang tua untuk lebih
memperhatikan kebutuhan anak terutama bagi anak yang berkebutuhan khusus. Serta
komunikasi yang baik antara guru dan orang tua. Ketika ada hal-hal yang tidak
mampu diselesaikan dalam menangani anak berkebutuhan khusus segera bicarakan
untuk hasil yang baik bagi semua. Saling bertukar informasi tentang anak di
lingkungan yang biasa mereka lalui bersama. Informasi dari guru kepada orang
tua bagaimana anak di sekolah dan sebaliknya. Pentingnya kerjasama orang
tua dan guru agar tidak adanya saling menyalahkan pada akhirnya.
Ketika semua yang
di atas bisa dilaksanakan dengan baik, maka besar harapan saya dapat menjadikan
semua terbaik dan hasil yang memuaskan. Dan akan lebih berusaha keras untuk
dapat menjadi tenaga pengajar dan pendidik yang bisa membatu anak-anak
berkebutuhan khusus untuk bisa menemukan dan mengembangkan apa yang mereka
punya dengan bantuan orang tua mereka juga.
Memiliki anak berkebutuhan khusus diakui
merupakan tantangan yang cukup berat bagi banyak orangtua. Tidak sedikit yang
mengeluhkan bahwa merawat dan mengasuh anak berkebutuhan khusus membutuhkan
tenaga dan perhatian yang ekstra karena tidak semudah saat melakukannya pada
anak-anak normal. Namun demikian, hal ini harus dapat disikapi secara positif,
agar selanjutnya orangtua dapat menemukan langkah-langkah yang tepat untuk
mengoptimalkan perkembangan dan berbagai potensi yang masih dimiliki oleh
anak-anak tersebut. Terlebih pada prinsipnya, meskipun memiliki keterbatasan,
bukan berarti tertutup sudah semua jalan bagi anak berkebutuhan khusus untuk
dapat berhasil dalam hidupnya dan menjalani hari-harinya tanpa selalu
bergantung pada orang lain. Di balik kelemahan atau kekurangan yang dimiliki,
anak berkebutuhan khusus masih memiliki sejumlah kemampuan atau modalitas yang
dapat dikembangkan untuk membantunya menjalani hidup seperti individu-individu
lain pada umumnya.
Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan
terdekat dan utama dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus. Heward (2003)
menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan
kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat ditentukan oleh peran
serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab keluarga adalah pihak yang
mengenal dan memahami berbagai aspek dalam diri seseorang dengan jauh lebih
baik daripada orang-orang yang lain.
Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari
orangtua dan anggota keluarga yang lain akan memberikan ‘energi’ dan
kepercayaan dalam diri anak berkebutuhan khusus untuk lebih berusaha
mempelajari dan mencoba hal-hal baru yang terkait dengan ketrampilan hidupnya.
Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan yang diterima dari orang-orang
terdekat akan membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari
lingkungan, enggan berusaha karena selalu diliputi oleh ketakutan ketika
berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya
mereka benar-benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta
selalu tergantung pada bantuan orang lain, termasuk dalam merawat diri sendiri.
B.
Pembahasan
1. Peranan Orang tua Terhadap ABK
Cukup banyak orangtua di Indonesia yang telah berhasil
membesarkan dan memberikan dukungan sehingga individu berkebutuhan khusus mampu
berprestasi di berbagai bidang, memenuhi peran-peran dan fungsi sosial di
masyarakat seperti halnya individu normal, memperoleh penghasilan, dan bahkan
menciptakan lapangan pekerjaan yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri namun
juga bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya.
Menambahkan uraian sebelumnya, hal lain yang juga tidak
kalah penting untuk dipahami adalah bahwa pengasuhan dan pendidikan yang baik
untuk anak berkebutuhan khusus pada dasarnya tidak selalu identik dengan dana
yang besar. Cukup banyak keluarga khusus yang “berhasil” ternyata memiliki
kondisi ekonomi yang terbatas. Namun demikian kehidupan yang sederhana tersebut
tidak mengurangi kebersamaan dan komunikasi yang saling dukung antar anggota
keluarga, sehingga sejalan dengan pernyataan Heward (2003) bahwa dalam sebuah
keluarga yang kondusif, yang diantara anggota-anggotanya memiliki kedekatan
emosional serta sifat yang komunikatif satu sama lain, akan tersedia berbagai
macam dukungan untuk mengatasi hambatan perkembangan yang dialami oleh anak.
Mereka akan dapat memilih cara yang tepat, sesuai dengan karakteristik anak,
kondisi dan kemampuan keluarga itu sendiri, sehingga treatmen yang dilakukan
dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal, sekalipun treatmen
tersebut hanya berupa aktivitas-aktivitas yang sederhana.
Orangtua mengajak dan sekaligus
memberi contoh kepada anak-anaknya yang normal untuk bersama-sama membantu
mengajarkan ketrampilan hidup sehari-hari kepada saudara mereka (merawat diri,
membersihkan rumah, membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya), menanamkan
untuk selalu mengasihi saudara bagaimanapun kondisinya, serta tidak perlu malu
memiliki saudara yang berkebutuhan khusus.
Bentuk partisipasi dari orang tua
dan guru dalam menunjang pendidikan bagi anak yang mengalami gangguan emosi
sosial dan perilaku adalah:
1.
Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh sangat berpengaruh pada
perkembangan pendidikan si anak. Jika anak mendapatkan pola asuh yang salah
dari orang tua, maka pendidikan tadi tidak berjalan dengan apa yang diharapkan.
Oleh karena itu perlu pendidikan yang lebih bagi orangtua untuk mengasuh anak
tunalaras.
Ada beberapa jenis pola asuh yang
sering digunakan oleh orang tua terhadap anak mereka adalah:
1. Pola asuh otoritative
(otoriter)
2. Pola asuh permisive (pemanjaan)
3. Pola asuh indulgent
(penelantaran)
4. Pola asuh autoritatif
(demokratis)
Dari keempat pola asuh diatas,
pola asuh yang akan memabntu anak tunalaras dalam pendidikannya adalha pola
asuh nomor empat yaitu pola asuh demokrasi. Karena pola asuh ini menerima
inspirasi dari anak dan tidak terlalu menekankan sesuatu terhadap anak.
2. Melakukan pendekatan individu
Anak tunalaras memang susah untuk
diajak bicara, berbagi dan bercerita, namun disini perlu kreativitas dari orang
tua dan guru agar anak mau berbagi dan menceritakan segala sesuatu masalh yang
ada pada dirinya. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara personal
kepada anak, baik pendekatan emosinya dan pendekatan jati dirinya. Contohnya
dengan memuji, memenuhi keinginannya, memahami karakternya dengan tidak
memberikan hukuman terlebih dahulu. Berusaha memandang sesuatu dari sudut
pandang anak. Prosedur yang diperlukan adalah bertahap dan kontinyu. Karena
ternyata untuk membiasakan anak berkata jujur itu tidak mudah. Tekhniknya
berupa pendekatan secara langsung ke anak atau pun secara tidak langsung
melalui teman sebaya anak.
Pendidikan Agama Islam diharapkan
menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan
akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya
dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu
diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang
muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional,
maupun global. Peranan Pendidikan Agama Islam di sekolah dimaksudkan untuk
meningkatkan potensi moral dan spiritual yang mencakup pengenalan, pemahaman,
penanaman dan pengamalan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan individual ataupun
kolektif kemasyarakatan.
2.
Peran guru yang kreatif
Mengidentifikasi keterampilan yang
diperlukan guru dalam mengajar anak dengan gangguan emosi dan perilaku (
Hallahan dan Kauffmann, 2006), yakni :
1.
Mengetahui strategi pencegahan dan intervensi bagi
individu yang beresiko mengalami gangguan emosi dan perilaku.
2.
Menggunakan variasi teknik yang tidak kaku dan keras
untuk mengontrol tingkah laku target dan menjaga atensi dalam pembelajaran.
3.
Menjaga rutinitas pembelajaran dengan konsisten, dan
terampil dalam problem solving dan mengatasi konflik.
4.
Merencanakan dan mengimplementasikan reinforcement
secara individual dan modifikasi lingkungan dengan level yang sesuai dengan
tingkat perilaku.
5.
Mengintegrasikan proses belajar mengajar (akademik),
pendidikan afektif, dan manajeman perilaku baik secara individual maupun
kelompok.
6.
Melakukan asesmen atas tingkah laku sosial yang
sesuai dan problematik pada siswa secara individual.
4. Pendidik dan Orang tua dapat mengembangkan
keterampilan kecerdasan emosional seorang anak dengan memberikan beberapa cara
yaitu:
1.
Mengenali emosi diri anak , mengenali perasaan anak
sewaktu perasaan yang dirasakan terjadi merupakan dasar kecerdassan emosional.
kemampuan untuk memantau peraaan dari waktu kewaktu merupakan hal penting bagi
pemahahaman anak.
2.
Mengelola emosi, menangani perasan anak agar dapat
terungkap dengan tepat kemampuan untuk menghibur anak , melepasakan kecemasan
kemurungan atau ketersinggungan, atau akibat – akibat yang muncul karena
kegagalan.
3.
Memotivasi anak, penataan emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi
perhatian dan kasih sayang untuk memotivasi anak dalam melakukan kreasi secara
bebas.
4.
Memahami emosi anak.
5.
Membina hubungan dengan anak, Setelah kita melakukan
identifikasi kemudian kita mampu mengenali, hal lain yang perlu dilakukan untuk
dapat mengembangkan kecerdasan emosional yaitu dengan memelihara
hubungan.
6.
Berkomunikasi “dengan jiwa “, Tidak hanya menjadi
pembicara terkadang kita harus memberikan waktu lawan bicara untuk berbicara
juga dengan demikian posisikan diri kita menjadi pendengar dan penanya yang
baik dengan hal ini kita diharapkan mampu membedakan antara apa yang dilakukan
atau yang dikatakan anak dengan reaksi atau penilaian.
Bagi anak berkebutuhan khusus, peran aktif orangtua ini
merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan kesehatan dan perkembangannya,
baik secara fisik maupun psikologis. Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan
mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang
berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Johnson dan
Johnson menyatakan bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan seperti
materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia.
Dukungan sosial juga dimaksudkan sebagai keberadaan dan kesediaan orang-orang
yang berarti, yang dapat dipercaya untuk membantu, mendorong, menerima, dan
menjaga individu.
Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kecil,
lebih memungkinkan untuk mengalami konsekuensi psikis yang negatif. Sementara
individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadi individu
lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang,
lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki tingkat
kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi keterampilan interpersonal, memiliki
kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan, serta lebih mampu untuk mengupayakan
dirinya dalam beradaptasi dengan stress.
Jalur pertama adalah efek langsung (direct effect), dimana baik efek positif dari
ketersediaan dukungan maupun efek negatif dari terbatasnya dukungan dan
terjadinya isolasi sosial akan memberikan pengaruh secara langsung terhadap
kesehatan individu, yang dalam hal ini adalah anak berkebutuhan khusus. Jalur
kedua disebut sebagai efek penyeimbang (buffering effect),
yaitu dukungan akan membantu mengurangi atau menurunkan pengaruh dari
berbagai stresor akut dan kronik terhadap kesehatan.
REFERENSI
Heward. (2003). Exceptional Children An
Introduction to Special Education. New Jersey: Merill, Prentice Hall.
Suhita,
2005. http://www.masbow.com/2009/08/apa-itu-dukungan-sosial.htmlDiperoleh
tanggal 21 maret 2011
Hallahan,
D.P. & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional Learners: Introduction to
Special Education 10th ed. USA:
Pearson.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SLBN PIDIE JAYA
A. Latar Belakang
Pendidikan
merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan
hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk
memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa
terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel)
seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).
Sekolah berkebutuhan khusus bagi anak cacat kini
hadir di Pidie Jaya. Kendati masih serba kekurangan baik fasilitas, tenaga
pengajar serta beberapa sarana utama yang diperlukan anak didik lainnya, namun
pihak sekolah atau pengelola tetap berupaya semaksimal mungkin untuk memajukan
lembaga pendidikan dimaksud. Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) yang berlokasi di
Gampong Pohroh Kecamatan Meureudu, aktif mulai September 2014 lalu.
B.
Permasalahan
Permasalahan
yang dihadapi anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya sangat kompleks dan
dapat ditinjau dari berbagai segi.Secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu masalah hambatan belajar (learning barrier), kelambatan perkembangan
(development delay), dan hambatan perkembangan (development disability).
1. Hambatan belajar
Munculnya
permasalahan hambatan belajar anak berkebutuhan khusus dapat ditinjau dari
dimensi proses ataupun hasil.Dalam pandangan teori pemrosesan informasi,
hambatan dalam dimensi proses merujuk pada ketidakmampuan, ketidaksanggupan,
kesulitan, kegagalan atau adanya rintangan pada individu untuk menangkap
informasi melalui kegiatan memperhatikan, mengolah informasi melalui kegiatan
mencamkan dan menafsirkan sehingga diperoleh pemahaman, interpretasi,
generalisasi atau keputusan-keputusan tertentu, menyimpan hasil pengolahan
informasi tersebut dalam ingatan, dan menggunakan atau mengekspresikan kembali
dalam bentuk tindakan.
Salah satu faktor penting yang memiliki kontribusi tinggi
terhadap munculnya hambatan belajar pada anak berkebutuhan khusus adalah faktor
kesiapan individu untuk belajar, yaitu kesiapan anak dalam merespon situasi
yang dihadapkan kepadanya secara tepat, baik karena faktor fisik , mental,
emosi, atau sosial anak atau faktor lain yang bersumber pada faktor lingkungan,
budaya, ataupun ekonomi. Akibat kelainan yang dihadapi, anak berkebutuhan
khusus sangat rentan terhadap munculnya berbagai hambatan dalam
belajar.Sedangkan hambatan belajar yang muncul hakekatnya dapat beragam sesuai
dengan kondisi anak dan komplesitas faktor-faktor yang mempengaruhi, dan khas
atau unik untuk masing-masing anak.
2.
Kelambatan perkembangan
Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak
berkembang melalui tahapan tertentu.Sekalipun irama atau kecepatan perkembangan
setiap anak berbeda-beda, namun muncul kecenderungan bahwa pada anak
berkebutuhan khusus beresiko terhadap munculnya kelambatan atau penyimpangan
perkembangan sesuai dengan umur dan milestone perkembangan, sehingga harus
tetap diwaspadai.
Sebab, akibat
kelainan, kecacatan, atau kondisi-kondisi terntentu yang tidak menguntungkan
dan menjadikannya anak berkebutuhan khusus, dapat berpengaruh atau menghambat
perkembangan kemampuan, prestasi, dan atau fungsinya, dapat menjadikan anak
memerlukan waktu yang lebih lama dalam belajar menguasai keterampilan tertentu
dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya, atau menjadikan datangnya
kematangan belajar menjadi terlambat. Anak-anak berkebutuhan khusus, baik
karena kecatatan atau akibat kondisi tertentu dapat menyebabkan functional
isolationism 'isolasi diri' yaitu kecenderungan mempertahankan untuk mengurangi
kegiatan interaksi sosial, aktivitas, dan perilaku eksploratori.
Akibatnya, anak
menjadi tidak aktif, apatis, dan pasif, malu, malas, dan kurang motivasi.Dalam
keadaan demikian, aspek-aspek esensial dan universal yang diperlukan untuk
perkembangan optimal menjadi ditekan, sehingga tidak berfungsi sebagai mana
mestinya, dan akhirnya memunculkan kelambatan dalam perkembangannya. Untuk
mengidentifikasi apakah anak mengalami kelambatan perkembangan, cara yang
paling mudah adalah dengan membandingkan taraf kemampuan anak sesuai dengan
anak-anak seusianya.
3.
Hambatan perkembangan
Antara hambatan
belajar, kelambatan perkembangan, dan hambatan perkembangan merupakan hal
sebenarnya sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu dengan yang lain,
namun dapat dibedakan.Secara umum, kelambatan perkembangan lebih menekankan
kepada dimensi tahapan perkembangan, sedangkan hambatan perkembangan lebih
fokus kepada terjadinya kesulitan, kegagalan, rintangan, atau gangguan dalam
satu atau lebih aspek perkembangan.
Adanya hambatan
dalam aspek perkembangan tertentu dapat berdampak kepada kelambatan
perkembangan yang tertentu pula, dengan kata lain kelambatan perkembangan
tertentu hakekatnya merupakan manifestasi adanya hambatan dalam satu atau lebih
aspek perkembangan.
Sedangkan
terjadinya hambatan perkembangan juga tidak lepas dari adanya hambatan dalam
belajar.Sebagaimana diketahui bahwa akibat kelainan atau kondisi-kondisi
tertentu yang dialaminya anak berkebutuhan khusus, secara potensial memiliki
resiko tinggi terhadap munculnya hambatan dalam berbagai aspek perkembangan,
baik fisik, psikologis, sosial atau bahkan dalam totalitas perkembangan
kepribadiannya.
Untuk memahami
tentang hambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus, kita tidak bisa
melepaskan diri dari kajian tentang perkembangan manusia pada umumnya.Dalam
pandangan ekologi, perkembangan manusia merupakan hasil dinamika interaksi atau
transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal.Interaksi merupakan
dasar bagi perkembangan manusia. Interkasi diartikan sebagai aktivitas saling
mempengaruhi, sedangkan bentuk interaksi yang terjadi kemungkinan adalah
individu dipengaruhi lingkungan, lingkungan dipengaruhi individu, atau individu
dan lingkungan secara dinamis berinteraksi satu sama lain sehingga mengalami
perubahan.
C.
PERMASALAHAN
1. Aspek-Aspek Perkembangan
Perkembangan
fisik yaitu perubahan dalam ukuran tubuh, proporsi anggota badan, tampang, dan
perubahan dalam fungsi-fungsi dari sistem tubuh seperti perkembangan otak,
persepsi dan gerak (motorik), serta kesehatan. Perkembangan kognitif yaitu
perubahan yang bervariasi dalam proses berpikir dalam kecerdasan termasuk
didalamnya rentang perhatian, daya ingat, kemampuan belajar, pemecahan masalah,
imajinasi, kreativitas, dan keunikan dalam menyatakan sesuatu dengan mengunakan
bahasa.Perkembangan sosial-emosional yaitu perkembangan berkomunikasi secara
emosional, memahami diri sendiri, kemampuan untuk memahami perasaan orang lain,
pengetahuan tentang orang lain, keterampilan dalam berhubungan dengan orang
lain, menjalin persabatan, dan pengertian tentang moral.
Harus
dipahami dengan sungguh sungguh bahwa ketiga aspek perkembangan itu merupakan
satu kesatuan yang utuh (terpadu), tidak terpisahkan satu sama lain. Setiap
aspek perkembangan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek lainnya. Sebagai
contoh perkembangan fisik seorang anak seperti meraih, duduk, merangkak, dan
berjalan sangat mempengaruh terhadap perkembangan kognitif anak yaitu dalam
memahami lingkungan sekitar di mana ia berada. Ketika seorang anak mencapai
tingkat perkembangan tertentu dalam berpikifr (kognitif) dan lebih terampil
dalam bertindak, maka akan mendapat respon dan stimulasi lebih banyak dari
orang dewasa, seperti dalam melakukan permaianan, percakapan dan berkomunikasi
sehingga anak dapat mencapai keterampilan baru (aspek sosial-emosional). Hal
seperti ini memperkaya pengalaman dan pada gilirannya dapat mendorong
berkembangnya semua aspek perkembangan secara menyeluruh. Dengan kata lain
perkembangan itu tidak terjadi secara sendiri-sendiri.
2.
Periode
Perkembangan
Para
peneliti biasanya membagi segmen perkembangan anak ke dalam lima periode (Berk,
2003). Ketika anak mencapai perkembangan pada periode tertentu maka akan
dipereroleh kemampuan dan pengalaman sosial-emosional yang baru.
Periode pra-lahir : sejak masa konsepsi sampai lahir. Pada periode ini terjadi perubahan yang paling cepat.
Periode pra-lahir : sejak masa konsepsi sampai lahir. Pada periode ini terjadi perubahan yang paling cepat.
Periode masa
bayi dan kanak-kanak: Sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada periode ini terjadi
perubahan badan dan pertumbuhan otak yang dramatis, mendukung terjadinya saling
berhubungan antara kemampuan gerak, persepsi, kapasitas kecerdasan, bahasa dan
terjadi untuk pertama kali berinteraksi secara akrab dengan orang lain. Masa
bayi dihabiskan pada tahun pertama sedanga masa kanak-anak dihabiskan pada
tahun kedua.
Periode awal
masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuran badan
menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat
mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini
anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
Periode masa
anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang
dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami
aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca
tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
Periode masa
remaja: dari usia 11-20 tahun. Periode ini adalah jembatan antara masa
anak-anak dengan masa dewasa. Terjadi kematangan seksual, berpikir menjadi
lebih abstrak dan idealistik.
3.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan
Untuk
melihat faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak, maka muncul
pertanyaan: apakah perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar atau
perkembangan itu hasil dari proses belajar ? Pertanyaan itu bisa dijawab ya,
bahwa perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar. Artinya jika seorang anak
belajar perlu didasari oleh kesiapan (kematangan) yang dicapai dalam
perkembangan. Misalnya seorang anak tidak mungkin akan bisa belajar bahasa dan
bicara jika belum mencapai kesiapan (kematangan), meskipun lingkungan
diciptakan sedemikian rupa agar anak dapat belajar bahasa dan bicara.
Sebaliknya, pertanyaan itu bisa dijawab ya bahwa perkembangan itu adalah hasil
belajar. Artinya perubahan yang terjadi pada diri seorang anak diperoleh melaui
proses interaksi dengan lingkungannya. Misalnya meskipun setiap anak memiliki
potensi untuk belajar bahasa dan bicara dan telah mencapai kematangan untuk
siap belajar, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mendapatkan rangsangan
dari luar (lingkungan) untuk belajar, maka anak itu tidak akan memperoleh keterampilan
berbahasa.
Oleh karena
itu terdapat hubungan timbal balik atau saling mempenagruhi antara proses
belajar dalam lingkungan dengan kematangan perkembangan. Dengan kata lain pada
saat tetentu belajar ditentukan oleh kematangan perkembangan, tetapi pada saat
yang lain perkembangan adalah hasil dari proses belajar. Konsekuensi dari
keadaan ini maka jika seorang anak mengalami hambatan dalam mencapai kematangan
perkembangan karena ada gangguan pada aspek fisik atau kognitif atau
sosial-emosional maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan belajar, dan
anak yang mengalami hambatan belajar akan mengalami hamabtan perkembangan. Anak
yang mengalami hambatan belajar dan atau hambatan perkembangan, memerlukan
layanan khusus dalam pendidikan dan disebut anak berkebutuhan khusus.
D.
HAMBATAN PERKEMBANGAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
KHUSUS
1.
Konsep Anak
Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
Istilah anak
berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma
pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak
memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda,
dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus
serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak
sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan
hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus
dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang
disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara
individual.
Cakupan
konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar
yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak
berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
a. Anak
Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak
berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang
mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh
faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi
karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar.
Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini
tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak
seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan
yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu
dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang
mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, dan oleh karena itu mereka
memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan
khusus.
Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
b. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap
(Permanen)
Anak
berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami
hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat
langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi
penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi,
gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, sosial
dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent
sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
2. Memahami Hambatan Belajar dan Hambatan
Perkembangan
a.
Pengertian Hambatan Belajar
Dalam
paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih
menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan
intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu dipandang sebagai kelompok
yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan
eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak
penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran
dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini
lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki dari pada aspek
individu anak sebagai manusia.
Dalam konsep
pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis
untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah layanan pendidikan
diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan
yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam
diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak
dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan
dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
Dalam
paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang
mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat
permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan
untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development).
Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk,
untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan
kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus
tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.
Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
Dalam
perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain
yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk
sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan
yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru
akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran
dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.
b. Penyebab
Munculnya Hambatan Belajar
Hambatan
belajar yang dialami oleh setiap anak bisa disebabkan oleh (1) faktor internal
pada diri anak itu sendiri, (2) faktor ekternal di luar diri anak dan, (3)
faktor internal dan eksternal.
1) Faktor
Internal
Hambatan
belajar bisa terjadi akibat adanya kerusakan secara fisik pada diri anak
(impairment), misalnya kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan
pada pada gerak motorik, serta anak yang mengalami hambatan perkembangan
intelektual. Keadaan impairment seperti itu menimbulkan kesulitan atau
ketidakmampuan tertentu (disability), sehingga merintangi anak untuk belajar.
Sebagai contoh, anak yang kehilangan fungsi penglihatan (anak tunanetra)
memiiki keterbatasan dalam belajar yang berhubungan dengan informasi visual.
Mereka harus mengubah informsi visual ke dalam bentuk informasi auditif, taktual
atau kinestetik, tetapi tidak semua informasi visual dapat diubah ke dalam
bentuk auditif, taktual dan kinestetik. Oleh karena itu pemahaman anak
tunanetra terhadap informasi visual sangat terbatas dan tidak utuh dibandingkan
anak awas.
Anak yang kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu) mengalami kesulitan untuk belajar sesuatu yang berhubungan dengan informasi auditif, sehingga mereka sulit memahami konsep yang bersifat verbal. Padahal banyak sekali konsep-konsep yang harus dipahami dengan menggunakan bahasa secara abstrak.
Anak yang kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu) mengalami kesulitan untuk belajar sesuatu yang berhubungan dengan informasi auditif, sehingga mereka sulit memahami konsep yang bersifat verbal. Padahal banyak sekali konsep-konsep yang harus dipahami dengan menggunakan bahasa secara abstrak.
Anak yang
mengalami gangguan perkembangan intelektual (anak tunagrahita) mengalami
kesulitan untuk memahami konsep abstrak yang dipelajarinya karena keterbatasan
dalam menglah informasi secara kognitif. Anak-anak seperti ini bisanya
mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan prinsip dari apa yang
dipelajarinya. Padahal sesungguhnya belajar lebih banyak berhubungan dengan
penguasaan konsep dan prinsipkah. Hambatan belajar yang bersifat internal
lainnya adalah gangguan perhatian dan hiperaktifitas, gangguan tiingkah laku,
dan gangguan interaksi dan komunikasi.
2) Faktor
Eksternal
Hambatan
belajar pada seorang anak bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri anak
itu sendiri. Anak mengalami kesulitan-kesulitan tertentu untuk belajar karena
eksternal misalnya, anak sering mendapat perlakuan kasar, sering diolok-olok,
tidak pernak dihargai, sering melihat kedua orang tuanya bertengkar dsb.
Keadsaan seperti ini dapat menimbulakan kehilangan kepercayaan diri, sulit
untuk memusatkan perhatian,cemas, gelisah, takut yang tidak beralasan dsb.
Bentuk-bentuk hambatan belajar yang dapat teridentifikasi akibat dari keadaan seperti itu misalnya, anak tidak memiliki keberaian untuk bertanya mesikipun ada yang ingin ia tanyakan kepada gurnya, tidak bisa menyatakan bahwa dia tidak mengerti sesuatu karena takut, tidak dapat mengikuti intruksi, tidak dapat mengemukakan pendapat atau keinginan secara lisan karena tidak berani. Anak-anak seperti ini tidak mungkin dapat belajar dengan benar.
Bentuk-bentuk hambatan belajar yang dapat teridentifikasi akibat dari keadaan seperti itu misalnya, anak tidak memiliki keberaian untuk bertanya mesikipun ada yang ingin ia tanyakan kepada gurnya, tidak bisa menyatakan bahwa dia tidak mengerti sesuatu karena takut, tidak dapat mengikuti intruksi, tidak dapat mengemukakan pendapat atau keinginan secara lisan karena tidak berani. Anak-anak seperti ini tidak mungkin dapat belajar dengan benar.
Faktor eksternal
lainnya yang dapat menjadi hambatan belajar bagi seorang anak seperti,
pengalaman belajar di kelas yang sangat keras dan sangant kompetitif,
pengalaman belajar di kelas yang terlalu mudah, sehingga tidak ada tantangan
untuk belajar lebih lanjut, pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar
anak, kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak secara personal , dan
ketidaktersediaan sumber belajar dan media pembelajaran.
3. Faktor Internal dan Eksternal
Hambatan
belajar bisa terjaidi karena komibinasi antara faktor intenal dan faktor
eksternal. Misalnya seorang anak yang mengalami gangguan perkemabngan
intelektual (internal) belajar pada lingkungan kelas yang keras dan kompetip
(eksternal). Sudah dapat dipastikan bahwa hambatan bejar yang dialami oleh anak
ini akan berakibat lebih buruk pada perkembangan hasil belajar anak. Anak
menghadapi dua hambatan bejar secara bersamaan.
E.
Kesimpulan
Periode awal
masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuranbadan
menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat
mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini
anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
Periode masa
anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang
dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami
aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca
tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
|
Alimin,
Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan
Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen
dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)
Foreman,
Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group:
Australia.
Hauschild,
AT & Watterdal, TM (2006) Kompendium: Perjanjian, Hukum dan
Peraturan Menjamin Semua anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk
Kualitas Pendidikan dalam Cara Inkluisif. IDP Norway: Jakarta
Peraturan Menjamin Semua anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk
Kualitas Pendidikan dalam Cara Inkluisif. IDP Norway: Jakarta
International
Symposium (2005) Inclusion and Removal Barrier to Learning, Partisipation and
development. Departeman Pebdidikan Nasional: Jakarta
Johsen,
Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Intoduction.
Unifub Porlag: Oslo
Lewis, Vicky
(2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow,
Cornwall.
Stubbs, Sue
(2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The
Atlas
Atlas
UNESCO
(2003) Overcoming Exclusion through Inclusive Approach in Education
A Challenge and A Vision. Division for Early Childhood and Inclusive
Education: Paris
A Challenge and A Vision. Division for Early Childhood and Inclusive
Education: Paris
Langganan:
Komentar (Atom)
OUTDOOR STUDY KE 8 SLB NEGERI PIDIE JAYA MERAYAKAN DIRGAHAYU REBUBLIK INDONESIA YANG KE 77 TAHUN
SLB Negeri Pidie Jaya. Dalam rangka menyambut Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 77, Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pidie Ja...
WhatsApp!

