FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SLBN PIDIE JAYA
A. Latar Belakang
Pendidikan
merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan
hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk
memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa
terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel)
seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).
Sekolah berkebutuhan khusus bagi anak cacat kini
hadir di Pidie Jaya. Kendati masih serba kekurangan baik fasilitas, tenaga
pengajar serta beberapa sarana utama yang diperlukan anak didik lainnya, namun
pihak sekolah atau pengelola tetap berupaya semaksimal mungkin untuk memajukan
lembaga pendidikan dimaksud. Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) yang berlokasi di
Gampong Pohroh Kecamatan Meureudu, aktif mulai September 2014 lalu.
B.
Permasalahan
Permasalahan
yang dihadapi anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya sangat kompleks dan
dapat ditinjau dari berbagai segi.Secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu masalah hambatan belajar (learning barrier), kelambatan perkembangan
(development delay), dan hambatan perkembangan (development disability).
1. Hambatan belajar
Munculnya
permasalahan hambatan belajar anak berkebutuhan khusus dapat ditinjau dari
dimensi proses ataupun hasil.Dalam pandangan teori pemrosesan informasi,
hambatan dalam dimensi proses merujuk pada ketidakmampuan, ketidaksanggupan,
kesulitan, kegagalan atau adanya rintangan pada individu untuk menangkap
informasi melalui kegiatan memperhatikan, mengolah informasi melalui kegiatan
mencamkan dan menafsirkan sehingga diperoleh pemahaman, interpretasi,
generalisasi atau keputusan-keputusan tertentu, menyimpan hasil pengolahan
informasi tersebut dalam ingatan, dan menggunakan atau mengekspresikan kembali
dalam bentuk tindakan.
Salah satu faktor penting yang memiliki kontribusi tinggi
terhadap munculnya hambatan belajar pada anak berkebutuhan khusus adalah faktor
kesiapan individu untuk belajar, yaitu kesiapan anak dalam merespon situasi
yang dihadapkan kepadanya secara tepat, baik karena faktor fisik , mental,
emosi, atau sosial anak atau faktor lain yang bersumber pada faktor lingkungan,
budaya, ataupun ekonomi. Akibat kelainan yang dihadapi, anak berkebutuhan
khusus sangat rentan terhadap munculnya berbagai hambatan dalam
belajar.Sedangkan hambatan belajar yang muncul hakekatnya dapat beragam sesuai
dengan kondisi anak dan komplesitas faktor-faktor yang mempengaruhi, dan khas
atau unik untuk masing-masing anak.
2.
Kelambatan perkembangan
Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak
berkembang melalui tahapan tertentu.Sekalipun irama atau kecepatan perkembangan
setiap anak berbeda-beda, namun muncul kecenderungan bahwa pada anak
berkebutuhan khusus beresiko terhadap munculnya kelambatan atau penyimpangan
perkembangan sesuai dengan umur dan milestone perkembangan, sehingga harus
tetap diwaspadai.
Sebab, akibat
kelainan, kecacatan, atau kondisi-kondisi terntentu yang tidak menguntungkan
dan menjadikannya anak berkebutuhan khusus, dapat berpengaruh atau menghambat
perkembangan kemampuan, prestasi, dan atau fungsinya, dapat menjadikan anak
memerlukan waktu yang lebih lama dalam belajar menguasai keterampilan tertentu
dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya, atau menjadikan datangnya
kematangan belajar menjadi terlambat. Anak-anak berkebutuhan khusus, baik
karena kecatatan atau akibat kondisi tertentu dapat menyebabkan functional
isolationism 'isolasi diri' yaitu kecenderungan mempertahankan untuk mengurangi
kegiatan interaksi sosial, aktivitas, dan perilaku eksploratori.
Akibatnya, anak
menjadi tidak aktif, apatis, dan pasif, malu, malas, dan kurang motivasi.Dalam
keadaan demikian, aspek-aspek esensial dan universal yang diperlukan untuk
perkembangan optimal menjadi ditekan, sehingga tidak berfungsi sebagai mana
mestinya, dan akhirnya memunculkan kelambatan dalam perkembangannya. Untuk
mengidentifikasi apakah anak mengalami kelambatan perkembangan, cara yang
paling mudah adalah dengan membandingkan taraf kemampuan anak sesuai dengan
anak-anak seusianya.
3.
Hambatan perkembangan
Antara hambatan
belajar, kelambatan perkembangan, dan hambatan perkembangan merupakan hal
sebenarnya sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu dengan yang lain,
namun dapat dibedakan.Secara umum, kelambatan perkembangan lebih menekankan
kepada dimensi tahapan perkembangan, sedangkan hambatan perkembangan lebih
fokus kepada terjadinya kesulitan, kegagalan, rintangan, atau gangguan dalam
satu atau lebih aspek perkembangan.
Adanya hambatan
dalam aspek perkembangan tertentu dapat berdampak kepada kelambatan
perkembangan yang tertentu pula, dengan kata lain kelambatan perkembangan
tertentu hakekatnya merupakan manifestasi adanya hambatan dalam satu atau lebih
aspek perkembangan.
Sedangkan
terjadinya hambatan perkembangan juga tidak lepas dari adanya hambatan dalam
belajar.Sebagaimana diketahui bahwa akibat kelainan atau kondisi-kondisi
tertentu yang dialaminya anak berkebutuhan khusus, secara potensial memiliki
resiko tinggi terhadap munculnya hambatan dalam berbagai aspek perkembangan,
baik fisik, psikologis, sosial atau bahkan dalam totalitas perkembangan
kepribadiannya.
Untuk memahami
tentang hambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus, kita tidak bisa
melepaskan diri dari kajian tentang perkembangan manusia pada umumnya.Dalam
pandangan ekologi, perkembangan manusia merupakan hasil dinamika interaksi atau
transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal.Interaksi merupakan
dasar bagi perkembangan manusia. Interkasi diartikan sebagai aktivitas saling
mempengaruhi, sedangkan bentuk interaksi yang terjadi kemungkinan adalah
individu dipengaruhi lingkungan, lingkungan dipengaruhi individu, atau individu
dan lingkungan secara dinamis berinteraksi satu sama lain sehingga mengalami
perubahan.
C.
PERMASALAHAN
1. Aspek-Aspek Perkembangan
Perkembangan
fisik yaitu perubahan dalam ukuran tubuh, proporsi anggota badan, tampang, dan
perubahan dalam fungsi-fungsi dari sistem tubuh seperti perkembangan otak,
persepsi dan gerak (motorik), serta kesehatan. Perkembangan kognitif yaitu
perubahan yang bervariasi dalam proses berpikir dalam kecerdasan termasuk
didalamnya rentang perhatian, daya ingat, kemampuan belajar, pemecahan masalah,
imajinasi, kreativitas, dan keunikan dalam menyatakan sesuatu dengan mengunakan
bahasa.Perkembangan sosial-emosional yaitu perkembangan berkomunikasi secara
emosional, memahami diri sendiri, kemampuan untuk memahami perasaan orang lain,
pengetahuan tentang orang lain, keterampilan dalam berhubungan dengan orang
lain, menjalin persabatan, dan pengertian tentang moral.
Harus
dipahami dengan sungguh sungguh bahwa ketiga aspek perkembangan itu merupakan
satu kesatuan yang utuh (terpadu), tidak terpisahkan satu sama lain. Setiap
aspek perkembangan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek lainnya. Sebagai
contoh perkembangan fisik seorang anak seperti meraih, duduk, merangkak, dan
berjalan sangat mempengaruh terhadap perkembangan kognitif anak yaitu dalam
memahami lingkungan sekitar di mana ia berada. Ketika seorang anak mencapai
tingkat perkembangan tertentu dalam berpikifr (kognitif) dan lebih terampil
dalam bertindak, maka akan mendapat respon dan stimulasi lebih banyak dari
orang dewasa, seperti dalam melakukan permaianan, percakapan dan berkomunikasi
sehingga anak dapat mencapai keterampilan baru (aspek sosial-emosional). Hal
seperti ini memperkaya pengalaman dan pada gilirannya dapat mendorong
berkembangnya semua aspek perkembangan secara menyeluruh. Dengan kata lain
perkembangan itu tidak terjadi secara sendiri-sendiri.
2.
Periode
Perkembangan
Para
peneliti biasanya membagi segmen perkembangan anak ke dalam lima periode (Berk,
2003). Ketika anak mencapai perkembangan pada periode tertentu maka akan
dipereroleh kemampuan dan pengalaman sosial-emosional yang baru.
Periode pra-lahir : sejak masa konsepsi sampai lahir. Pada periode ini terjadi
perubahan yang paling cepat.
Periode masa
bayi dan kanak-kanak: Sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada periode ini terjadi
perubahan badan dan pertumbuhan otak yang dramatis, mendukung terjadinya saling
berhubungan antara kemampuan gerak, persepsi, kapasitas kecerdasan, bahasa dan
terjadi untuk pertama kali berinteraksi secara akrab dengan orang lain. Masa
bayi dihabiskan pada tahun pertama sedanga masa kanak-anak dihabiskan pada
tahun kedua.
Periode awal
masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuran badan
menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat
mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini
anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
Periode masa
anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang
dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami
aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca
tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
Periode masa
remaja: dari usia 11-20 tahun. Periode ini adalah jembatan antara masa
anak-anak dengan masa dewasa. Terjadi kematangan seksual, berpikir menjadi
lebih abstrak dan idealistik.
3.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan
Untuk
melihat faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak, maka muncul
pertanyaan: apakah perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar atau
perkembangan itu hasil dari proses belajar ? Pertanyaan itu bisa dijawab ya,
bahwa perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar. Artinya jika seorang anak
belajar perlu didasari oleh kesiapan (kematangan) yang dicapai dalam
perkembangan. Misalnya seorang anak tidak mungkin akan bisa belajar bahasa dan
bicara jika belum mencapai kesiapan (kematangan), meskipun lingkungan
diciptakan sedemikian rupa agar anak dapat belajar bahasa dan bicara.
Sebaliknya, pertanyaan itu bisa dijawab ya bahwa perkembangan itu adalah hasil
belajar. Artinya perubahan yang terjadi pada diri seorang anak diperoleh melaui
proses interaksi dengan lingkungannya. Misalnya meskipun setiap anak memiliki
potensi untuk belajar bahasa dan bicara dan telah mencapai kematangan untuk
siap belajar, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mendapatkan rangsangan
dari luar (lingkungan) untuk belajar, maka anak itu tidak akan memperoleh keterampilan
berbahasa.
Oleh karena
itu terdapat hubungan timbal balik atau saling mempenagruhi antara proses
belajar dalam lingkungan dengan kematangan perkembangan. Dengan kata lain pada
saat tetentu belajar ditentukan oleh kematangan perkembangan, tetapi pada saat
yang lain perkembangan adalah hasil dari proses belajar. Konsekuensi dari
keadaan ini maka jika seorang anak mengalami hambatan dalam mencapai kematangan
perkembangan karena ada gangguan pada aspek fisik atau kognitif atau
sosial-emosional maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan belajar, dan
anak yang mengalami hambatan belajar akan mengalami hamabtan perkembangan. Anak
yang mengalami hambatan belajar dan atau hambatan perkembangan, memerlukan
layanan khusus dalam pendidikan dan disebut anak berkebutuhan khusus.
D.
HAMBATAN PERKEMBANGAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
1.
Konsep Anak
Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
Istilah anak
berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma
pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak
memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda,
dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus
serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak
sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan
hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus
dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang
disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara
individual.
Cakupan
konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar
yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak
berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
a. Anak
Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak
berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang
mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh
faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi
karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar.
Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini
tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak
seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan
yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu
dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang
mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, dan oleh karena itu mereka
memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan
khusus.
Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua
bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda,
Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama
ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti
ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam
bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak
berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan
layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila
hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat
boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
b. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap
(Permanen)
Anak
berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami
hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat
langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi
penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi,
gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, sosial
dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent
sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari
anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang
luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan
khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak
berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang
cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan
khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan
kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan
khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
2. Memahami Hambatan Belajar dan Hambatan
Perkembangan
a.
Pengertian Hambatan Belajar
Dalam
paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih
menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan
intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu dipandang sebagai kelompok
yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan
eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak
penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran
dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini
lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki dari pada aspek
individu anak sebagai manusia.
Dalam konsep
pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis
untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah layanan pendidikan
diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan
yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam
diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak
dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan
dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
Dalam
paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang
mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat
permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan
untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development).
Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk,
untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan
kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus
tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.
Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar
setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan.
Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan
yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang
persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk
membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar
dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap
anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat
kepada anak (child center approach).
Dalam
perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain
yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk
sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan
yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru
akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran
dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.
b. Penyebab
Munculnya Hambatan Belajar
Hambatan
belajar yang dialami oleh setiap anak bisa disebabkan oleh (1) faktor internal
pada diri anak itu sendiri, (2) faktor ekternal di luar diri anak dan, (3)
faktor internal dan eksternal.
1) Faktor
Internal
Hambatan
belajar bisa terjadi akibat adanya kerusakan secara fisik pada diri anak
(impairment), misalnya kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan
pada pada gerak motorik, serta anak yang mengalami hambatan perkembangan
intelektual. Keadaan impairment seperti itu menimbulkan kesulitan atau
ketidakmampuan tertentu (disability), sehingga merintangi anak untuk belajar.
Sebagai contoh, anak yang kehilangan fungsi penglihatan (anak tunanetra)
memiiki keterbatasan dalam belajar yang berhubungan dengan informasi visual.
Mereka harus mengubah informsi visual ke dalam bentuk informasi auditif, taktual
atau kinestetik, tetapi tidak semua informasi visual dapat diubah ke dalam
bentuk auditif, taktual dan kinestetik. Oleh karena itu pemahaman anak
tunanetra terhadap informasi visual sangat terbatas dan tidak utuh dibandingkan
anak awas.
Anak yang kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu) mengalami kesulitan untuk
belajar sesuatu yang berhubungan dengan informasi auditif, sehingga mereka
sulit memahami konsep yang bersifat verbal. Padahal banyak sekali konsep-konsep
yang harus dipahami dengan menggunakan bahasa secara abstrak.
Anak yang
mengalami gangguan perkembangan intelektual (anak tunagrahita) mengalami
kesulitan untuk memahami konsep abstrak yang dipelajarinya karena keterbatasan
dalam menglah informasi secara kognitif. Anak-anak seperti ini bisanya
mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan prinsip dari apa yang
dipelajarinya. Padahal sesungguhnya belajar lebih banyak berhubungan dengan
penguasaan konsep dan prinsipkah. Hambatan belajar yang bersifat internal
lainnya adalah gangguan perhatian dan hiperaktifitas, gangguan tiingkah laku,
dan gangguan interaksi dan komunikasi.
2) Faktor
Eksternal
Hambatan
belajar pada seorang anak bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri anak
itu sendiri. Anak mengalami kesulitan-kesulitan tertentu untuk belajar karena
eksternal misalnya, anak sering mendapat perlakuan kasar, sering diolok-olok,
tidak pernak dihargai, sering melihat kedua orang tuanya bertengkar dsb.
Keadsaan seperti ini dapat menimbulakan kehilangan kepercayaan diri, sulit
untuk memusatkan perhatian,cemas, gelisah, takut yang tidak beralasan dsb.
Bentuk-bentuk hambatan belajar yang dapat teridentifikasi akibat dari keadaan
seperti itu misalnya, anak tidak memiliki keberaian untuk bertanya mesikipun
ada yang ingin ia tanyakan kepada gurnya, tidak bisa menyatakan bahwa dia tidak
mengerti sesuatu karena takut, tidak dapat mengikuti intruksi, tidak dapat
mengemukakan pendapat atau keinginan secara lisan karena tidak berani.
Anak-anak seperti ini tidak mungkin dapat belajar dengan benar.
Faktor eksternal
lainnya yang dapat menjadi hambatan belajar bagi seorang anak seperti,
pengalaman belajar di kelas yang sangat keras dan sangant kompetitif,
pengalaman belajar di kelas yang terlalu mudah, sehingga tidak ada tantangan
untuk belajar lebih lanjut, pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar
anak, kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak secara personal , dan
ketidaktersediaan sumber belajar dan media pembelajaran.
3. Faktor Internal dan Eksternal
Hambatan
belajar bisa terjaidi karena komibinasi antara faktor intenal dan faktor
eksternal. Misalnya seorang anak yang mengalami gangguan perkemabngan
intelektual (internal) belajar pada lingkungan kelas yang keras dan kompetip
(eksternal). Sudah dapat dipastikan bahwa hambatan bejar yang dialami oleh anak
ini akan berakibat lebih buruk pada perkembangan hasil belajar anak. Anak
menghadapi dua hambatan bejar secara bersamaan.
E.
Kesimpulan
Periode awal
masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuranbadan
menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat
mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini
anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
Periode masa
anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang
dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami
aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca
tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
REFERENSI
Alimin,
Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan
Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen
dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)
Foreman,
Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group:
Australia.
Hauschild,
AT & Watterdal, TM (2006) Kompendium: Perjanjian, Hukum dan
Peraturan Menjamin Semua anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk
Kualitas Pendidikan dalam Cara Inkluisif. IDP Norway: Jakarta
International
Symposium (2005) Inclusion and Removal Barrier to Learning, Partisipation and
development. Departeman Pebdidikan Nasional: Jakarta
Johsen,
Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Intoduction.
Unifub Porlag: Oslo
Lewis, Vicky
(2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow,
Cornwall.
Stubbs, Sue
(2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The
Atlas
UNESCO
(2003) Overcoming Exclusion through Inclusive Approach in Education
A Challenge and A Vision. Division for Early Childhood and Inclusive
Education: Paris