Sabtu, 26 September 2015



IBU-IBU DHARMA WANITA PERSATUAN (DWP) KABUPATEN PIDIE JAYA BERBAGI DAGING QURBAN KEPADA SLB PIDIE JAYA

Dengan semangat dan menperingati Hari Raya Idul Adhar 1436 H (hari raya Qurban) Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) Pidie Jaya Ibu Hj. Yulinar Iskandar beserta rombongan, melakukan satu kegiatan berbagi daging Qurbar kepada seluruh siswa fakir atau miskin dan dewan Guru SLB Pidie Jaya pada tanggal 12 Dzulhijjah 1436 H bertepatan pada tanggal Sabtu 26 September 2015 M, yang dimulai pukul 08.00 wib, berlokasi di Desa Pohroh Kec. Meureudu. Penyaluran daging qurban ini diserahkan kepada kepala sekolah Zubir, S.Pd secara simbolis dan kemudian diteruskan kepada semua penerima. Dalam kunjunggannya, Ibu-ibu DWP Kab. Pidie Jaya ikut menyaksikan proses penyembelihan hewan qurban yang dilakukan di komplek sekolah.
Hj. Yulinar Iskandar menyampaikan, Semoga daging qurban yang dibagikan bermanfaat bagi para penerima dan kebersamaan serta silaturahmi Idul Qurban ini tetap terjalin dengan baik.
Zubir mengatakan bahwa pihak sangat berterima kasih pada DWP Kab. Pidie Jaya beserta rombongan atas hewan qurban ini, menurut data siswa sekolah akan menyiapkan 95 kupon untuk dibagikan. Pelaksanaan pemotongan hewan qurban dilaksanakan dengan tertib. Hewan qurban yang telah disembelih tersebut kemudian dibagikan kepada siswa dan dewan guru, Sebagian wali siswa mengantarkan anaknya langsung ke sekolah untuk melihat proses penyembelihan dan pembagian daging qurban. Proses pembagian qurban dilaksanakan dalam 2 cara, pertama wali murid mengambil langsung ke sekolah dan kedua pihak sekolah mengantarkan langsung ke tempat siswa tinggal.

Selasa, 08 September 2015

Karakteristik Anak Tuna Grahita

Secara umum karakteristik anak tunagrahita ditinjau dari segi akademik, sosial/emosional, fisik/kesehatan. Di samping perlu pula ditinjau berat dan ringannya ketunagrahitaan, sehingga perlu dibahas karakterirtik tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat dan sangat berat.

Pemahaman karakteristik sangat penting karena dapat menentukan layanan pendidikan bagi tiap jenis anak tunagrahita. Misalnya materi pelajaran bagi anak tunagrahita ringan lebih tinggi jika dibandingkan dengan materi pelajaran bagi anak tunagrahita sedang, berat, dan sangat berat.

Ciri-ciri /karakteristik yang dapat dijadikan patokan dalam mendeteksi ketunagrahitaan terutama pada masa sekolah penting dikenal oleh guru karena kebanyakan dari mereka langsung masuk ke sekolah biasa. Biasanya anak yang ke sekolah umum tergolong tunagrahita ringan karena tidak memperlihatkan ciri-ciri khusus dalam segi fisik. Ciri ketunagrahitaan barulah diketahui pada saat ia duduk di kelas IV SD karena di kelas sebelumnya ia dapat mengikuti pelajaran seperti anak normal dalam menyanyi, bermain dan kerja.
Diakses dari : http://www.enkadaycare.com/

Minggu, 06 September 2015

PERANAN ORANG TUA TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Di SLBN PIDIE JAYA

A.  Latar Belakang
Sekolah berkebutuhan khusus bagi anak cacat kini hadir di Pidie Jaya. Kendati masih minim baik fasilitas, tenaga pengajar serta beberapa sarana utama yang diperlukan anak didik lainnya, namun pihak sekolah atau pengelola tetap berupaya semaksimal mungkin untuk memajukan lembaga pendidikan dimaksud.Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) yang berlokasi di Gampong Pohroh Kecamatan Meureudu, aktif mulai September 2014 lalu.
SLBNPidie Jaya merupakan salah satu sekolah yang mendidik semua jenis anak berkebutuhan khusus (ABK). Dalam hal tersebut, semua sekolah yang menerapkan inklusi harus tunduk kepada SLBN Pidie Jaya.
Tidak sedikit orang tua yang mendapati anaknya berkebutuhan khusus lalu mereka malu untuk mengakuinya kepada orang lain. Menurut saya, ini adalah dasar kesalahan para orang tua. Mengapa demikian? Karena seharusnya anak berkebutuhan khusus itu harus mendapatkan dukungan penuh dari orang yang paling dekat dengan mereka. Kalau orang tuannya saja malu untuk mengakuinnya, lalu bagaimana bisa mereka bisa tumbuh kembang dan mendapatkan pendidikan yang baik?. Sangat miris bila kita menjumpai permasalahan yang demikian.
Ada pula orangtua yang menyekolahkan anaknya memang ditempat yang benar, namun mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para guru untuk mendidik anak mereka. Dengan alasan guru di sekolah tersebut telah menguasai bidangnya. Benar demikian, hanya saja hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari bantuan orang lain atau tolong menolong terhadapnya. Begitupun guru dengan orang tua murid.
Menurut saya untuk menghindari dari permasalahan-permasalahan yang tidak diinginkan dan dampak yang tidak baik bagi anak berkebutuhan khusus, maka perlunya kesadaran orang tua untuk lebih memperhatikan kebutuhan anak terutama bagi anak yang berkebutuhan khusus. Serta komunikasi yang baik antara guru dan orang tua. Ketika ada hal-hal yang tidak mampu diselesaikan dalam menangani anak berkebutuhan khusus segera bicarakan untuk hasil yang baik bagi semua. Saling bertukar informasi tentang anak di lingkungan yang biasa mereka lalui bersama. Informasi dari guru kepada orang tua  bagaimana anak di sekolah dan sebaliknya. Pentingnya kerjasama orang tua dan guru agar tidak adanya saling menyalahkan pada akhirnya.
Ketika semua yang di atas bisa dilaksanakan dengan baik, maka besar harapan saya dapat menjadikan semua terbaik dan hasil yang memuaskan. Dan akan lebih berusaha keras untuk dapat menjadi tenaga pengajar dan pendidik yang bisa membatu anak-anak berkebutuhan khusus untuk bisa menemukan dan mengembangkan apa yang mereka punya dengan bantuan orang tua mereka juga.
Memiliki anak berkebutuhan khusus diakui merupakan tantangan yang cukup berat bagi banyak orangtua. Tidak sedikit yang mengeluhkan bahwa merawat dan mengasuh anak berkebutuhan khusus membutuhkan tenaga dan perhatian yang ekstra karena tidak semudah saat melakukannya pada anak-anak normal. Namun demikian, hal ini harus dapat disikapi secara positif, agar selanjutnya orangtua dapat menemukan langkah-langkah yang tepat untuk mengoptimalkan perkembangan dan berbagai potensi yang masih dimiliki oleh anak-anak tersebut. Terlebih pada prinsipnya, meskipun memiliki keterbatasan, bukan berarti tertutup sudah semua jalan bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat berhasil dalam hidupnya dan menjalani hari-harinya tanpa selalu bergantung pada orang lain. Di balik kelemahan atau kekurangan yang dimiliki, anak berkebutuhan khusus masih memiliki sejumlah kemampuan atau modalitas yang dapat dikembangkan untuk membantunya menjalani hidup seperti individu-individu lain pada umumnya.
Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain.
Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari orangtua dan anggota keluarga yang lain akan memberikan ‘energi’ dan kepercayaan dalam diri anak berkebutuhan khusus untuk lebih berusaha mempelajari dan mencoba hal-hal baru yang terkait dengan ketrampilan hidupnya. Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan yang diterima dari orang-orang terdekat akan membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, enggan berusaha karena selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta selalu tergantung pada bantuan orang lain, termasuk dalam merawat diri sendiri.
B.  Pembahasan
1.      Peranan Orang tua Terhadap ABK
Cukup banyak orangtua di Indonesia yang telah berhasil membesarkan dan memberikan dukungan sehingga individu berkebutuhan khusus mampu berprestasi di berbagai bidang, memenuhi peran-peran dan fungsi sosial di masyarakat seperti halnya individu normal, memperoleh penghasilan, dan bahkan menciptakan lapangan pekerjaan yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri namun juga bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya.
Menambahkan uraian sebelumnya, hal lain yang juga tidak kalah penting untuk dipahami adalah bahwa pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak berkebutuhan khusus pada dasarnya tidak selalu identik dengan dana yang besar. Cukup banyak keluarga khusus yang “berhasil” ternyata memiliki kondisi ekonomi yang terbatas. Namun demikian kehidupan yang sederhana tersebut tidak mengurangi kebersamaan dan komunikasi yang saling dukung antar anggota keluarga, sehingga sejalan dengan pernyataan Heward (2003) bahwa dalam sebuah keluarga yang kondusif, yang diantara anggota-anggotanya memiliki kedekatan emosional serta sifat yang komunikatif satu sama lain, akan tersedia berbagai macam dukungan untuk mengatasi hambatan perkembangan yang dialami oleh anak. Mereka akan dapat memilih cara yang tepat, sesuai dengan karakteristik anak, kondisi dan kemampuan keluarga itu sendiri, sehingga treatmen yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal, sekalipun treatmen tersebut hanya berupa aktivitas-aktivitas yang sederhana.
Orangtua mengajak dan sekaligus memberi contoh kepada anak-anaknya yang normal untuk bersama-sama membantu mengajarkan ketrampilan hidup sehari-hari kepada saudara mereka (merawat diri, membersihkan rumah, membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya), menanamkan untuk selalu mengasihi saudara bagaimanapun kondisinya, serta tidak perlu malu memiliki saudara yang berkebutuhan khusus.
Bentuk partisipasi dari orang tua dan guru dalam menunjang pendidikan bagi anak yang mengalami gangguan emosi sosial dan perilaku adalah:
1.      Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh sangat berpengaruh pada perkembangan pendidikan si anak. Jika anak mendapatkan pola asuh yang salah dari orang tua, maka pendidikan tadi tidak berjalan dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu perlu pendidikan yang lebih bagi orangtua untuk mengasuh anak tunalaras. 
Ada beberapa jenis pola asuh yang sering digunakan oleh orang tua terhadap anak mereka adalah:
1. Pola asuh otoritative (otoriter)
2. Pola asuh permisive (pemanjaan)
3. Pola asuh indulgent (penelantaran)
4. Pola asuh autoritatif (demokratis)
Dari keempat pola asuh diatas, pola asuh yang akan memabntu anak tunalaras dalam pendidikannya adalha pola asuh nomor empat yaitu pola asuh demokrasi. Karena pola asuh ini menerima inspirasi dari anak dan tidak terlalu menekankan sesuatu terhadap anak.

2. Melakukan pendekatan individu
Anak tunalaras memang susah untuk diajak bicara, berbagi dan bercerita, namun disini perlu kreativitas dari orang tua dan guru agar anak mau berbagi dan menceritakan segala sesuatu masalh yang ada pada dirinya. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara personal kepada anak, baik pendekatan emosinya dan pendekatan jati dirinya. Contohnya dengan memuji, memenuhi keinginannya, memahami karakternya dengan tidak memberikan hukuman terlebih dahulu. Berusaha memandang sesuatu dari sudut pandang anak. Prosedur yang diperlukan adalah bertahap dan kontinyu. Karena ternyata untuk membiasakan anak berkata jujur itu tidak mudah. Tekhniknya berupa pendekatan secara langsung ke anak atau pun secara tidak langsung melalui teman sebaya anak.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional, maupun global. Peranan Pendidikan Agama Islam di sekolah dimaksudkan untuk meningkatkan potensi moral dan spiritual yang mencakup pengenalan, pemahaman, penanaman dan pengamalan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.
2.      Peran guru yang kreatif
Mengidentifikasi keterampilan yang diperlukan guru dalam mengajar anak dengan gangguan emosi dan perilaku ( Hallahan dan Kauffmann, 2006), yakni :
1.      Mengetahui strategi pencegahan dan intervensi bagi individu yang beresiko mengalami gangguan emosi dan perilaku.
2.      Menggunakan variasi teknik yang tidak kaku dan keras untuk mengontrol tingkah laku target dan menjaga atensi dalam pembelajaran.
3.      Menjaga rutinitas pembelajaran dengan konsisten, dan terampil dalam problem solving dan mengatasi konflik. 
4.      Merencanakan dan mengimplementasikan reinforcement secara individual dan modifikasi lingkungan dengan level yang sesuai dengan tingkat perilaku.
5.      Mengintegrasikan proses belajar mengajar (akademik), pendidikan afektif, dan manajeman perilaku baik secara individual maupun kelompok.
6.      Melakukan asesmen atas tingkah laku sosial yang sesuai dan problematik pada siswa secara individual.

4. Pendidik dan Orang tua dapat mengembangkan keterampilan kecerdasan emosional seorang anak dengan memberikan beberapa cara yaitu:
1.      Mengenali emosi diri anak , mengenali perasaan anak sewaktu perasaan yang dirasakan terjadi merupakan dasar kecerdassan emosional. kemampuan untuk memantau peraaan dari waktu kewaktu merupakan hal penting bagi pemahahaman anak. 
2.      Mengelola emosi, menangani perasan anak agar dapat terungkap dengan tepat kemampuan untuk menghibur anak , melepasakan kecemasan kemurungan atau ketersinggungan, atau akibat – akibat yang muncul karena kegagalan.
3.      Memotivasi anak, penataan emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi perhatian dan kasih sayang untuk memotivasi anak dalam melakukan kreasi secara bebas. 
4.      Memahami emosi anak. 
5.      Membina hubungan dengan anak, Setelah kita melakukan identifikasi kemudian kita mampu mengenali, hal lain yang perlu dilakukan untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional yaitu dengan memelihara hubungan. 
6.      Berkomunikasi “dengan jiwa “, Tidak hanya menjadi pembicara terkadang kita harus memberikan waktu lawan bicara untuk berbicara juga dengan demikian posisikan diri kita menjadi pendengar dan penanya yang baik dengan hal ini kita diharapkan mampu membedakan antara apa yang dilakukan atau yang dikatakan anak dengan reaksi atau penilaian.
Bagi anak berkebutuhan khusus, peran aktif orangtua ini merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan kesehatan dan perkembangannya, baik secara fisik maupun psikologis. Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Johnson dan Johnson menyatakan bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan seperti materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia. Dukungan sosial juga dimaksudkan sebagai keberadaan dan kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya untuk membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu.
Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kecil, lebih memungkinkan untuk mengalami konsekuensi psikis yang negatif. Sementara individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadi individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi keterampilan interpersonal, memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan, serta lebih mampu untuk mengupayakan dirinya dalam beradaptasi dengan stress.
Jalur pertama adalah efek langsung (direct effect), dimana baik efek positif dari ketersediaan dukungan maupun efek negatif dari terbatasnya dukungan dan terjadinya isolasi sosial akan memberikan pengaruh secara langsung terhadap kesehatan individu, yang dalam hal ini adalah anak berkebutuhan khusus. Jalur kedua disebut sebagai efek penyeimbang (buffering effect), yaitu dukungan akan membantu mengurangi  atau menurunkan pengaruh dari berbagai stresor akut dan kronik terhadap kesehatan.
REFERENSI

 Heward. (2003). Exceptional Children An Introduction to Special Education. New Jersey: Merill, Prentice Hall.
Suhita, 2005. http://www.masbow.com/2009/08/apa-itu-dukungan-sosial.htmlDiperoleh tanggal 21 maret 2011
Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional Learners: Introduction to Special Education 10th  ed. USA: Pearson.


FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SLBN PIDIE JAYA

A.  Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).
Sekolah berkebutuhan khusus bagi anak cacat kini hadir di Pidie Jaya. Kendati masih serba kekurangan baik fasilitas, tenaga pengajar serta beberapa sarana utama yang diperlukan anak didik lainnya, namun pihak sekolah atau pengelola tetap berupaya semaksimal mungkin untuk memajukan lembaga pendidikan dimaksud. Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) yang berlokasi di Gampong Pohroh Kecamatan Meureudu, aktif mulai September 2014 lalu.
B.     Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya sangat kompleks dan dapat ditinjau dari berbagai segi.Secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu masalah hambatan belajar (learning barrier), kelambatan perkembangan (development delay), dan hambatan perkembangan (development disability).
1.      Hambatan belajar
Munculnya permasalahan hambatan belajar anak berkebutuhan khusus dapat ditinjau dari dimensi proses ataupun hasil.Dalam pandangan teori pemrosesan informasi, hambatan dalam dimensi proses merujuk pada ketidakmampuan, ketidaksanggupan, kesulitan, kegagalan atau adanya rintangan pada individu untuk menangkap informasi melalui kegiatan memperhatikan, mengolah informasi melalui kegiatan mencamkan dan menafsirkan sehingga diperoleh pemahaman, interpretasi, generalisasi atau keputusan-keputusan tertentu, menyimpan hasil pengolahan informasi tersebut dalam ingatan, dan menggunakan atau mengekspresikan kembali dalam bentuk tindakan.
Salah satu faktor penting yang memiliki kontribusi tinggi terhadap munculnya hambatan belajar pada anak berkebutuhan khusus adalah faktor kesiapan individu untuk belajar, yaitu kesiapan anak dalam merespon situasi yang dihadapkan kepadanya secara tepat, baik karena faktor fisik , mental, emosi, atau sosial anak atau faktor lain yang bersumber pada faktor lingkungan, budaya, ataupun ekonomi. Akibat kelainan yang dihadapi, anak berkebutuhan khusus sangat rentan terhadap munculnya berbagai hambatan dalam belajar.Sedangkan hambatan belajar yang muncul hakekatnya dapat beragam sesuai dengan kondisi anak dan komplesitas faktor-faktor yang mempengaruhi, dan khas atau unik untuk masing-masing anak.

2.      Kelambatan perkembangan
Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak berkembang melalui tahapan tertentu.Sekalipun irama atau kecepatan perkembangan setiap anak berbeda-beda, namun muncul kecenderungan bahwa pada anak berkebutuhan khusus beresiko terhadap munculnya kelambatan atau penyimpangan perkembangan sesuai dengan umur dan milestone perkembangan, sehingga harus tetap diwaspadai.
Sebab, akibat kelainan, kecacatan, atau kondisi-kondisi terntentu yang tidak menguntungkan dan menjadikannya anak berkebutuhan khusus, dapat berpengaruh atau menghambat perkembangan kemampuan, prestasi, dan atau fungsinya, dapat menjadikan anak memerlukan waktu yang lebih lama dalam belajar menguasai keterampilan tertentu dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya, atau menjadikan datangnya kematangan belajar menjadi terlambat. Anak-anak berkebutuhan khusus, baik karena kecatatan atau akibat kondisi tertentu dapat menyebabkan functional isolationism 'isolasi diri' yaitu kecenderungan mempertahankan untuk mengurangi kegiatan interaksi sosial, aktivitas, dan perilaku eksploratori.
Akibatnya, anak menjadi tidak aktif, apatis, dan pasif, malu, malas, dan kurang motivasi.Dalam keadaan demikian, aspek-aspek esensial dan universal yang diperlukan untuk perkembangan optimal menjadi ditekan, sehingga tidak berfungsi sebagai mana mestinya, dan akhirnya memunculkan kelambatan dalam perkembangannya. Untuk mengidentifikasi apakah anak mengalami kelambatan perkembangan, cara yang paling mudah adalah dengan membandingkan taraf kemampuan anak sesuai dengan anak-anak seusianya.
3.      Hambatan perkembangan
Antara hambatan belajar, kelambatan perkembangan, dan hambatan perkembangan merupakan hal sebenarnya sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu dengan yang lain, namun dapat dibedakan.Secara umum, kelambatan perkembangan lebih menekankan kepada dimensi tahapan perkembangan, sedangkan hambatan perkembangan lebih fokus kepada terjadinya kesulitan, kegagalan, rintangan, atau gangguan dalam satu atau lebih aspek perkembangan.
Adanya hambatan dalam aspek perkembangan tertentu dapat berdampak kepada kelambatan perkembangan yang tertentu pula, dengan kata lain kelambatan perkembangan tertentu hakekatnya merupakan manifestasi adanya hambatan dalam satu atau lebih aspek perkembangan.
Sedangkan terjadinya hambatan perkembangan juga tidak lepas dari adanya hambatan dalam belajar.Sebagaimana diketahui bahwa akibat kelainan atau kondisi-kondisi tertentu yang dialaminya anak berkebutuhan khusus, secara potensial memiliki resiko tinggi terhadap munculnya hambatan dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik, psikologis, sosial atau bahkan dalam totalitas perkembangan kepribadiannya.
Untuk memahami tentang hambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus, kita tidak bisa melepaskan diri dari kajian tentang perkembangan manusia pada umumnya.Dalam pandangan ekologi, perkembangan manusia merupakan hasil dinamika interaksi atau transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal.Interaksi merupakan dasar bagi perkembangan manusia. Interkasi diartikan sebagai aktivitas saling mempengaruhi, sedangkan bentuk interaksi yang terjadi kemungkinan adalah individu dipengaruhi lingkungan, lingkungan dipengaruhi individu, atau individu dan lingkungan secara dinamis berinteraksi satu sama lain sehingga mengalami perubahan.

C.   PERMASALAHAN
1.      Aspek-Aspek Perkembangan
Perkembangan fisik yaitu perubahan dalam ukuran tubuh, proporsi anggota badan, tampang, dan perubahan dalam fungsi-fungsi dari sistem tubuh seperti perkembangan otak, persepsi dan gerak (motorik), serta kesehatan. Perkembangan kognitif yaitu perubahan yang bervariasi dalam proses berpikir dalam kecerdasan termasuk didalamnya rentang perhatian, daya ingat, kemampuan belajar, pemecahan masalah, imajinasi, kreativitas, dan keunikan dalam menyatakan sesuatu dengan mengunakan bahasa.Perkembangan sosial-emosional yaitu perkembangan berkomunikasi secara emosional, memahami diri sendiri, kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, pengetahuan tentang orang lain, keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain, menjalin persabatan, dan pengertian tentang moral.
Harus dipahami dengan sungguh sungguh bahwa ketiga aspek perkembangan itu merupakan satu kesatuan yang utuh (terpadu), tidak terpisahkan satu sama lain. Setiap aspek perkembangan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek lainnya. Sebagai contoh perkembangan fisik seorang anak seperti meraih, duduk, merangkak, dan berjalan sangat mempengaruh terhadap perkembangan kognitif anak yaitu dalam memahami lingkungan sekitar di mana ia berada. Ketika seorang anak mencapai tingkat perkembangan tertentu dalam berpikifr (kognitif) dan lebih terampil dalam bertindak, maka akan mendapat respon dan stimulasi lebih banyak dari orang dewasa, seperti dalam melakukan permaianan, percakapan dan berkomunikasi sehingga anak dapat mencapai keterampilan baru (aspek sosial-emosional). Hal seperti ini memperkaya pengalaman dan pada gilirannya dapat mendorong berkembangnya semua aspek perkembangan secara menyeluruh. Dengan kata lain perkembangan itu tidak terjadi secara sendiri-sendiri.
2.      Periode Perkembangan
Para peneliti biasanya membagi segmen perkembangan anak ke dalam lima periode (Berk, 2003). Ketika anak mencapai perkembangan pada periode tertentu maka akan dipereroleh kemampuan dan pengalaman sosial-emosional yang baru.
Periode pra-lahir : sejak masa konsepsi sampai lahir. Pada periode ini terjadi perubahan yang paling cepat.
Periode masa bayi dan kanak-kanak: Sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada periode ini terjadi perubahan badan dan pertumbuhan otak yang dramatis, mendukung terjadinya saling berhubungan antara kemampuan gerak, persepsi, kapasitas kecerdasan, bahasa dan terjadi untuk pertama kali berinteraksi secara akrab dengan orang lain. Masa bayi dihabiskan pada tahun pertama sedanga masa kanak-anak dihabiskan pada tahun kedua.
Periode awal masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuran badan menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
Periode masa anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
Periode masa remaja: dari usia 11-20 tahun. Periode ini adalah jembatan antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Terjadi kematangan seksual, berpikir menjadi lebih abstrak dan idealistik.
3.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak, maka muncul pertanyaan: apakah perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar atau perkembangan itu hasil dari proses belajar ? Pertanyaan itu bisa dijawab ya, bahwa perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar. Artinya jika seorang anak belajar perlu didasari oleh kesiapan (kematangan) yang dicapai dalam perkembangan. Misalnya seorang anak tidak mungkin akan bisa belajar bahasa dan bicara jika belum mencapai kesiapan (kematangan), meskipun lingkungan diciptakan sedemikian rupa agar anak dapat belajar bahasa dan bicara. Sebaliknya, pertanyaan itu bisa dijawab ya bahwa perkembangan itu adalah hasil belajar. Artinya perubahan yang terjadi pada diri seorang anak diperoleh melaui proses interaksi dengan lingkungannya. Misalnya meskipun setiap anak memiliki potensi untuk belajar bahasa dan bicara dan telah mencapai kematangan untuk siap belajar, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mendapatkan rangsangan dari luar (lingkungan) untuk belajar, maka anak itu tidak akan memperoleh keterampilan berbahasa.
Oleh karena itu terdapat hubungan timbal balik atau saling mempenagruhi antara proses belajar dalam lingkungan dengan kematangan perkembangan. Dengan kata lain pada saat tetentu belajar ditentukan oleh kematangan perkembangan, tetapi pada saat yang lain perkembangan adalah hasil dari proses belajar. Konsekuensi dari keadaan ini maka jika seorang anak mengalami hambatan dalam mencapai kematangan perkembangan karena ada gangguan pada aspek fisik atau kognitif atau sosial-emosional maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan belajar, dan anak yang mengalami hambatan belajar akan mengalami hamabtan perkembangan. Anak yang mengalami hambatan belajar dan atau hambatan perkembangan, memerlukan layanan khusus dalam pendidikan dan disebut anak berkebutuhan khusus.
D.    HAMBATAN PERKEMBANGAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
1.      Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
a.    Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
b. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, sosial dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
2.      Memahami Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan
a.    Pengertian Hambatan Belajar
Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.
Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.
Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.
b.    Penyebab Munculnya Hambatan Belajar
Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak bisa disebabkan oleh (1) faktor internal pada diri anak itu sendiri, (2) faktor ekternal di luar diri anak dan, (3) faktor internal dan eksternal.
1)   Faktor Internal
Hambatan belajar bisa terjadi akibat adanya kerusakan secara fisik pada diri anak (impairment), misalnya kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan pada pada gerak motorik, serta anak yang mengalami hambatan perkembangan intelektual. Keadaan impairment seperti itu menimbulkan kesulitan atau ketidakmampuan tertentu (disability), sehingga merintangi anak untuk belajar. Sebagai contoh, anak yang kehilangan fungsi penglihatan (anak tunanetra) memiiki keterbatasan dalam belajar yang berhubungan dengan informasi visual. Mereka harus mengubah informsi visual ke dalam bentuk informasi auditif, taktual atau kinestetik, tetapi tidak semua informasi visual dapat diubah ke dalam bentuk auditif, taktual dan kinestetik. Oleh karena itu pemahaman anak tunanetra terhadap informasi visual sangat terbatas dan tidak utuh dibandingkan anak awas.
Anak yang kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu) mengalami kesulitan untuk belajar sesuatu yang berhubungan dengan informasi auditif, sehingga mereka sulit memahami konsep yang bersifat verbal. Padahal banyak sekali konsep-konsep yang harus dipahami dengan menggunakan bahasa secara abstrak.
Anak yang mengalami gangguan perkembangan intelektual (anak tunagrahita) mengalami kesulitan untuk memahami konsep abstrak yang dipelajarinya karena keterbatasan dalam menglah informasi secara kognitif. Anak-anak seperti ini bisanya mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan prinsip dari apa yang dipelajarinya. Padahal sesungguhnya belajar lebih banyak berhubungan dengan penguasaan konsep dan prinsipkah. Hambatan belajar yang bersifat internal lainnya adalah gangguan perhatian dan hiperaktifitas, gangguan tiingkah laku, dan gangguan interaksi dan komunikasi.
2)   Faktor Eksternal
Hambatan belajar pada seorang anak bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri anak itu sendiri. Anak mengalami kesulitan-kesulitan tertentu untuk belajar karena eksternal misalnya, anak sering mendapat perlakuan kasar, sering diolok-olok, tidak pernak dihargai, sering melihat kedua orang tuanya bertengkar dsb. Keadsaan seperti ini dapat menimbulakan kehilangan kepercayaan diri, sulit untuk memusatkan perhatian,cemas, gelisah, takut yang tidak beralasan dsb.
Bentuk-bentuk hambatan belajar yang dapat teridentifikasi akibat dari keadaan seperti itu misalnya, anak tidak memiliki keberaian untuk bertanya mesikipun ada yang ingin ia tanyakan kepada gurnya, tidak bisa menyatakan bahwa dia tidak mengerti sesuatu karena takut, tidak dapat mengikuti intruksi, tidak dapat mengemukakan pendapat atau keinginan secara lisan karena tidak berani. Anak-anak seperti ini tidak mungkin dapat belajar dengan benar.
Faktor eksternal lainnya yang dapat menjadi hambatan belajar bagi seorang anak seperti, pengalaman belajar di kelas yang sangat keras dan sangant kompetitif, pengalaman belajar di kelas yang terlalu mudah, sehingga tidak ada tantangan untuk belajar lebih lanjut, pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar anak, kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak secara personal , dan ketidaktersediaan sumber belajar dan media pembelajaran.
3.      Faktor Internal dan Eksternal
Hambatan belajar bisa terjaidi karena komibinasi antara faktor intenal dan faktor eksternal. Misalnya seorang anak yang mengalami gangguan perkemabngan intelektual (internal) belajar pada lingkungan kelas yang keras dan kompetip (eksternal). Sudah dapat dipastikan bahwa hambatan bejar yang dialami oleh anak ini akan berakibat lebih buruk pada perkembangan hasil belajar anak. Anak menghadapi dua hambatan bejar secara bersamaan.
 


E.     Kesimpulan

Periode awal masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuranbadan menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
Periode masa anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
18
 
REFERENSI
Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)
Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group: Australia.
Hauschild, AT & Watterdal, TM (2006) Kompendium: Perjanjian, Hukum dan
Peraturan Menjamin Semua anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk
Kualitas Pendidikan dalam Cara Inkluisif. IDP Norway: Jakarta
International Symposium (2005) Inclusion and Removal Barrier to Learning, Partisipation and development. Departeman Pebdidikan Nasional: Jakarta
Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Intoduction. Unifub Porlag: Oslo
Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow, Cornwall.
Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The
Atlas



UNESCO (2003) Overcoming Exclusion through Inclusive Approach in Education
A Challenge and A Vision. Division for Early Childhood and Inclusive
Education: Paris

OUTDOOR STUDY KE 8 SLB NEGERI PIDIE JAYA MERAYAKAN DIRGAHAYU REBUBLIK INDONESIA YANG KE 77 TAHUN

SLB Negeri Pidie Jaya.  Dalam rangka menyambut Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 77, Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pidie Ja...